25 Februari 2013

Dandelion....

Bunga itu masih tumbuh di bukit kenangan kita. Mereka tumbuh berkelompok menjadi satu kesatuan yang elok dipandang. Putih. Suci. Dan indah.

Bunga itu kecil. Tapi indah. Aku bahkan masih terus mengagumi kemungilan fisik mereka. Hingga saat ini. Terhitung sejak pertemuan pertama kita kala itu. Kau ingat? 5 tahun yang lalu.

Mereka terlihat rapuh, seolah butuh perlindungan. Itukah sebabnya mereka hidup berkelompok? Melindungi satu sama lain? Seperti kita. 4 tahun yang lalu.
Hae!
Selamat datang, selamat menikamti postingan yang saya buat. Bagi kalian yang mau kenal lebih dekat dengan saya, find me on:

Facebook : Arlieza Nurcahyani
Twitter : @arliezAzeilra
@mail : flamingcherry@rocketmail.com
              arliezancy@yahoo.com

23 Februari 2013

Our Relationship




Bandung, Oktober 2008…
Sore itu gerimis deras membahasi kota Bandung. Orang-orang hilir mudik mencari tempat perlindungan yang aman sebelum hujan lebat tiba di bumi. Tak terkecuali dua remaja berseragam SMA yang sedang berlarian cepat mencoba sampai di halte yang ada tak jauh dari mereka berlari.
“Akhirnya sampai juga.” Ucap Rian dengan napas tersenggal-senggal. Diliriknya gadis di sebelahnya yang masih mengatur napas. “Lo baik-baik aja, kan?” tanya Rian.
Tari menatap lelaki di sebelahnya dengan garang. Ia menggembungkan pipinya kesal kepada temannya dan berkata, “Kamu pikir tenaga cewek itu sama kayak cowok? Cuma gerimis aja kamu larinya kayak orang kesetanan. Apalagi aku larinya sama Rian Prasetya si juara lari tingkat provinsi. Dasar.” Omelnya dengan napas yang masih setengah-setengah.
Rian hanya tertawa kecil menanggapi omelan yang diterimanya. “Maaf.” Sesalnya, yang hanya dibalas dengusan kasar oleh Tari. “Tapi kalo kita nggak cepet-cepet, nanti hujannya tambah jadi lho.” Tambah Rian sambil melihat langit yang mendung.
“Mana ada yang tahu, Rian. Hujan itu bukan kamu yang ngatur. Bisa aja gerimisnya berhenti.” Sungut Tari kesal.
Tepat saat Tari menyelesaikan omongannya, hujan deras pun datang. Angin pun ikut memeriahkan cuaca yang sedang buruk itu. “Liat kan, gue bilang juga apa.” Ejek Rian sambil tersenyum penuh kemenangan.

7 Februari 2013

The Last Tears



“Aku tak sekuat yang kamu pikir, Ana. Aku itu lemah.” Ucap Mia lirih. Ia mendongakkan kepalanya menatap langit sore yang menyala jingga. Disibakkannya ke belakang  helaian anak rambut yang menjuntai di samping telinganya. Sorot matanya teduh penuh kesedihan.
Ana menoleh menatap sahabatnya. Alisnya berkerut saat didengarnya lirihan Mia menyebut dirinya lemah. “Kau yakin? Kurasa kamu hanya tak sadar kekuatanmu. Kamu itu gadis paling tegar yang pernah aku temui seumur hidup. Sungguh.” Yakin Ana.
“Tidak, Ana. Kau saja yang tak tahu kelemahanku.” Sanggah Mia.
Hembusan napas kecil terdengar dari mulut Ana. Ditundukkannya kepala di atas lututnya yang ia tekukkan. Ia memainkan lidi yang sejak tadi dipegangnya ke atas pasir pantai, mencoba menulis atau melukis sesuatu  dengan media seadanya. “Kalau begitu apa kelemahan yang kamu maksud tadi? Mungkin kau benar jika aku tak tahu apa-apa.” Tanyanya tanpa menoleh ke arah Mia.
“Kamu itu gadis yang pintar dan penuh perasaan. Tanpa aku beritahu pun, aku  sangat yakin kau tahu jawabannya. Kau hanya menutup matamu untuk tidak melihat kelemahan orang lain. Benar kan?” Tanya Mia.